Karya:
Nama : Ardelia Fitriani
Kelas : XII MIPA SMA Muhammadiyah 1 Bojonegoro
SAY
Sebuah kata? entahlah! Aku memang bisa berkata
lebih dari seribu tanpa kelu. Namun untuk sejarah sekolah tatap layar ini
membuat otakku bukan hanya kelu, tapi cukup ngilu.
Aku?
Aku hanya murid yang berguru Brainly. Rebahan 24 jam nonstop dan yang
paling mengenaskan, aku adalah penyalahguna kuota. Next, Ibuku guru.
Tapi sibuk dengan muridnya bukan anaknya. Aku anaknya, belum tentu muridnya.
Ayahku? Ayah ku dokter, lagi lagi sibuk dengan kesehatan pasien sampai lupa
anaknya juga butuh perhatian.
Tapi
biarlah, mereka adalah pahlawan.
Cuplikan derita ini berawal dari munculnya musuh baru yang ku tau namanya adalah, Covidah Naintiyah. Keluarganya, adalah saingan terberat, musuh terkuat seluruh jagat semesta alam. Memegang kekuasaan setiap inci jejak langkah makhluk tak berdaya bernama MANUSIA. Yaaaa..kita kita ini.
Dalam
dimensi berbeda, Covidah datang memporak porandakan dunia yang memang awalnya
sudah berantakan. Dan dia, menerobos masuk kedalam kehidupan yang sejak awal
sudah menyiksa. Kedatangannya yang baru kemarin, telah mengantarkan sebuah
pukulan bertubi tubi dengan ratusan bahkan jutaan cerita menarik tentang
kematian.
Andai
aku peri, aku akan meraup mereka satu per satu. Pemperlihatkan pada dunia
‘inilah Covidah Naintiyah’ biar dia malu. Sayang sekali, halu ku begitu
terlalu.
Dimana pun penghuni dunia resah dan gelisah hanya karena kata ‘wabah’. Lantas
berteriak macam orang gila, membuat heboh sejagat raya. Itu dulu! Kini yang
‘stay at home’ atau mudahnya ‘karantina’. Teriaknya dengan jempolan, membuat
gonjang ganjing sejagat maya. Banyak yang tanpa pamrih menyebar hoax di media
massa, lantas sejarah mencatat dengan tajuk ‘selamat datang di generasi yang
mana kehidupan manusia berpindah ke planet internet.
Cukupkanlah!
Hentikan menggunjing Covidah. Dia telah membeli kebahagiaan ku dengan kematian.
“Sonia,
Ayah berangkat ke luar kota” Yaa…Ayah pasti mau menemui Covidah. Aku berpaling!
Enggan menatap Ayah yang membawa koper seperti mau pindah rumah. ‘Cukup aku
saja Yah, yang pindah ke planet internet. Ayah tetap tinggal’ batinku sambil
menahan airmata yang mengintip di pelupuk mata.
Baik,
aku mengalah. Kuanggukkan kepala meski tanpa tolehan. Berpura fokus pada
pembelajaran zoom penuh bualan. (sok hadir, kamera mati, ditinggal ngopi)
Ayah
tersenyum, berlalu begitu saja walau sebelumnya meninggalkan permen milkita
kesukaanku. Masih di tempat, ku dengar Ayah berbicara pelan pada Ibu. “Bu, Ayah
berangkat ya?” Ibuku diam saja. Kuyakin Ibu lebih tak rela jika Ayah pergi,
meski Ibu yang lebih tau tentang ‘TUGAS’ sebenarnya.
“Percaya
Bu, Ayah pasti baik baik saja. Ibu do’a untuk ayah ya? Jaga kesehatan, jaga
Sonia” Kudengar Ibu sesengkukan, sibuk menahan ingus yang menyerobot keluar.
Ibuku tangguh, mengapa menangis? Pikirku miris.
“Ayah
berangkat Bu, titip salam sayang buat Sonia. Sepertinya dia enggan mengantar
Ayahnya ini. Assalamualaikum” Ibu menjawab salam lirih, aku ikut. Demi apa? Aku
enggan mengantar Ayah? Bukan itu yang ku maksud. Aku hanya enggan berpisah
dengan Ayah.
Jangan
tanya reaksiku melihat Ayah dari jendela. Tanganku menadah airmata yang macam
hujan tahun baru. Mengalir deras namun tak sanggup membasahi hati yang kering
kerontang macam hutan belantara di musim ketiga.
Jauh hari setelah keberangkatan Ayah ke luar kota. Hatiku sunyi sepi tiada arti. Ibu menyibukkan diri, berusaha untuk tak terlalu mengkhawatirkan Ayah. Namun dari setiap laku nya, tersirat makna ‘Ayah harus baik-baik saja’
Badai
itu datang cepat tanpa ku duga. Tepat pada hari ke- 15, ku dengar dari ucapan
Ibu yang terbata bata “A-yah me-ning-gal-kan ki-ta” lantas Ibu menutup mata
dari derita, memutuskan tidur sejenak melepaskan asa.
Aku?
Aku kehilangan tanah! Terombang ambing tanpa arah. Separuh cahayaku padam
sudah.
Sehari
itu, aku tak peduli zoom terlewatkan, pekerjaan terabaikan, makan terlupakan.
Untung bernapas masih lekat dalam ingatan. Aku menyesali diri, mengapa milkita
yang kumakan kemarin sore, jadi milkita terakhir pemberian Ayah.
15
hari dimasa lalu, Ayah meninggalkan sejarah Ibu menangis pasrah, meninggalkan
salam terakhir ‘Salam sayang untuk sonia’. Sungguh Ayah! Aku berasa jadi anak
paling durhaka. Ingin rasanya mencelupkan kepala kedalam lautan, supaya
airmataku tersamarkan. Pun enggan mendengar segala suara dari mana-mana. AKU
SEDIH AYAH. Aku terlena oleh derita….lantas gelap!
Pada
labirin antah-berantah, Aku terjatuh. Membuka mata lalu berteriak parau,
menyalahkan takdir padahal aku salah dengan itu. Mencaci maki entah siapa, lalu
bersujud putus asa.
“Datangmu
yang hanya membawa derita mengapa begitu lama? Adamu yang melumpuhkan seperuh
cerita, mengapa begitu sempurna? Dengan apa lagi aku mencela? Dengan bagaimana
lagi aku meminta? ENYAHLAHHH!!! A-KU MEM-BEN-CI-MUU!!!!” sujudku merembeskan
airmata sampai kepusat tata surya.
“Aku
harus bagaimana?” tanpa kutanya itu suara siapa, aku melempar kata.
“PERGII!!
PERGILAHH!! Sekolah kau buat begini! Dunia kau buat sepi macam tanpa penghuni!
Takdir, apa memang dibuat mati??” Hu..huu..lantas aku kau buat
kehilangan arti?” dan bla-bla. Sumpah serapahku tumpah ruah dilabirin
antah-berantah.
“Ayahhh…”
Aku mulai pasrah, aku lelah.
“Katakan
apa yang kau mau?” Suara itu lagi.
Aku berpikir, walau bukan ‘darimana asal suara’ melainkan ‘mengapa dia
bertanya’ bukankah sia – sia? Meski begitu dengan segala harap ku, untaian do’a
penuh makna. Bergumanlah aku, pelan sambil menengadah menggambar wajah Ayah.
“Aku…
Ingin
merdeka
Dari
mu….”
Aku
pun kembali, pada labirin realita. Menyaksikan cuplikan derita yang terkenang
sepanjang masa.
Komentar
Posting Komentar